Belajar Kelola Sampah Lewat ‘Laron Sarungan’

Sejumlah mahasiswa menyimak edukasi pengelolaan sampah.
Sejumlah mahasiswa menyimak edukasi pengelolaan sampah.

YOGYA – Program Laboratorium Pengolahan Sampah Rumah Tangga Perkotaan (Laron Sarungan) yang dikembangkan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogya mampu menjadi sarana edukatif. Terutama dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait berbagai metode pengolahan sampah rumah tangga.

Kepala Bidang Pengelolaan Persampahan DLH Kota Yogya Ahmad Haryoko, menjelaskan Laron Sarungan selama ini dikembangkan di Tempat Pengolahan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS 3R) Nitikan. “Sudah banyak kunjungan untuk studi banding dan praktik kerja lapangan ke TPS 3R. Rata-rata dari sekolah maupun universitas yang ada di DIY maupun luar kota,” jelasnya, Kamis (20/7).

Sesuai dengan namanya, Laron Sarungan merupakan sarana edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana mengelola sampah rumah tangga di perkotaan akibat keterbatasan lahan. Dalam program tersebut masyarakat akan mendapatkan edukasi terkait metode-metode pengelolaan sampah organik dan anorganik yang selama ini dilakukan di TPS 3R Nitikan. Lantaran di perkotaan memiliki keterbatasan lahan untuk mengelola sampah rumah tangga, maka metode pengolahan sampah dibuat sederhana dan tidak membutuhkan tempat yang luas.

Dirinya berharap semakin banyak kelompok masyarakat yang memiliki minat untuk mempelajari pengolahan sampah rumah tangga. Bagi masyarakat maupun lembaga pendidikan yang hendak mengakses Laron Sarungan di TPS 3R Nitikan bisa mengajukan surat ke DLH Kota Yogya. Pihaknya akan mengatur jadwal maupun menyesuaikan dengan rencana waktu kunjungan. Masyarakat dapat berkunjung dan belajar pengelolaan sampah melalui Laron Sarungan tanpa dipungut biaya atau gratis. “Tidak ada biaya, dan setelah selesai akan kita kasih souvenir berupa kompos dan ecoenzym,” imbuhnya.

Melalui program tersebut pihaknya ingin memberikan penyadaran jika sampah rumah tangga tidak harus dibuang ke TPS. Baik jenis organik maupun anorganik dapat dikelola seluruhnya, tergantung dengan pemahaman dan kemauan dari masyarakat. “Misal sampah anorganik berupa plastik, bisa digunting kecil-kecil kemudian dimasukkan ke dalam botol. Itu sudah menjadi ecobrick,” tandasnya.

Sedangkan sampah organik, menurut Haryoko, banyak sekali caranya antara lain biopori, lodong sisa dapur (losida), takakura, ember tumpuk, ecoenzym maupun biolos atau gabungan biopori dan losida. Selain itu TPS 3R di Nitikan selama ini juga mengelola sampah organik menjadi kompos dan untuk pakan maggot. Termasuk memilah sampah anorganik dan mengelola sampah residu plastik dan dipres lalu diserahkan ke beberapa mitra swasta pengelola sampah. “Itu metode-metode yang sudah simpel untuk pengelolaan sampah rumah tangga. Sampah pasti bau, makanya bisa memilih metode-metode pengelolaan sampah untuk meminimalisir baunya,” urainya.

Dicontohkan pada metode biopori, setelah sampah organik dimasukkan ke pipa paralon lalu di atasnya diberi tanah agar tidak berbau. Biopori memiliki keuntungan selain menghasilkan kompos dari sampah organik juga sebagai biokonservasi air. Sedangkan metode losida untuk mencegah larva maka setiap memasukkan sampah organik ditambah kompos. Sementara untuk metode ember tumpuk, harus hati-hati saat membuka dan memastikan kran cukup kuat agar tidak bocor. Hal ini karena air lindi dari sampah organik berbau tajam.

Terkait metode biolos memiliki keuntungan sebagai konservasi air dan saat memanen kompos tinggal menarik pipa kecil di dalamnya. Untuk metode ecoenzym dinilainya agak ribet dan sebaiknya untuk rumah tangga yang sudah benar-benar mengelola sampah. Hal ini karena harus teliti dalam memilih bahan baku dari buah yang akan busuk. Panen ecoenzym butuh waktu 2-3 bulan dan probabilitas hasilnya tidak bisa 100 persen. “Metode-metode itu kalau diterapkan di rumah tangga perkotaan tidak memerlukan tempat yang luas. Masyarakat bisa memilih metode pengelolaan sampah sesuai selera,” ujarnya. (*)

Exit mobile version